BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 3 menyebutkan “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demok
is serta bertanggung jawab”. Disini dapat kita analisis bahwa orientasi utama pendidikan yang dilaksanakan adalah dalam rangka membentuk kepribadian masyarakat Indonesia yang seutuhnya dan mampu menjunjung tinggi nilai-nilai normatif dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan dan fungsi pendidikan akan tampak pada karakter masyarakat yang tercermin dan teraplikasi dalam setiap menjalankan peran dan fungsi individu ditengah masyarakat.
Pada hakekatnya tidak ada satu pun tujuan pendidikan yang menyimpang dari nilai-nilai normatif. Tujuan pendidikan begitu luhur, yaitu untuk memberdayakan potensi anak manusia menuju harkat dan mertabat manusia pada derajat yang sesungguhnya. Hal ini dimaksudkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, merasa miliknya dirampas dan berhak mengaktualisasikan dirinya sebagai kebutuhan tertinggi menurut hirarki Maslow. Kekayaaan intelektual diakui dengan kebebasan berekspresi tanpa melanggar nilai-nilai dan norma yang berlaku di tengah masyarakat.
Namun harapan tersebut belum membumi sama sekali di tengah kehidupan manusia saat ini. Betapa banyak orang-orang intelektual yang berakhlak dan bertingkah laku tidak benar. Apakah ini salah satu bagian out-put dari pendidikan? Konkretnya dapat kita lihat dalam salah satu permasalahan yang melilit bangsa kita, yaitu korupsi. “Korupsi telah menjadi budaya”, kata Bung Hatta puluhan tahun yang lalu. Pernyataan itu terbukti dan pelakunya tidak sembarang orang, yang mengoyak mental bangsa dan menghancurkan nilai-nilai sosial. Budaya korupsi telah mengakar dan bersemi dengan subur di bumi nusantara.
Korupsi dilakukan segelintir manusia yang tidak bertanggung jawab dan tentunya mereka juga berasal dari sebuah keluarga, layaknya manusia normal lain. Keluarga memang alternaif utama untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada individu di masa depan. Karakter awal harus ditanamkan dalam lingkup keluaraga. Kegagalan anak dalam mengaplikasikan nilai-nilai moral dalam membangun karakternya bermula dari kegagalan keluarga yang tidak lain peran orang tua yang tidak berjalan. Hal ini akan berimplikasi pada setiap jalur kehidupan yang akan ditempuh selanjutnya.
Sekolah merupakan titian anak berikutnya setelah keluarga. Harapan masyarakat pada sekolah tidak lain agar kegagalan penanaman nilai dalam keluarga bisa di tanggulangi oleh sekolah. Fase kedua ini memang cukup berat dipikul oleh guru sebagai individu yang bertangung jawab penuh terhadap pola pengembangan peserta didiknya. Guru tidak cukup hanya mengajarkan materi pelajaran, namun juga dituntut membangun karakter manusia dan mengembangkan potensi yang tampak maupun tersembunyi secara maksimal. Hingga diharapkan generasi ke depan betul-betul terdidik dan mencapai tujuan pendidikan itu sediri, dengan mental dan karakter yang tangguh bebas korupsi.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Ingin mengetahui sejauh mana urgensi pendidikan karakter bagi perkembangan kepribadian individu.
2. Mengupayakan terbentuknya generasi muda yang bebas korupsi dengan upaya pencegahan yang dilakukan instansi pendidikan sebagai promotor utama.
3. Menemukan relevansi antara pendidikan berbasis character building dengan membentuk generasi masa depan bebas korupsi.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Karakter
Karakter merupakan kekayaan terbesar dalam hidup seseorang. Karakter adalah kekuatan. Kekuatan yang dapat membentengi diri kita dari segala macam godaan yang mendorong pada tingkah laku tidak terpuji (Alfred, 2010).
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata latin kharakter, kharassein dan kharax, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa prancis caractere pada abad XIV dan kemudian masuk dalam Bahasa Inggris menjadi character, yang selanjutnya dalam bahsa indonesia disebut karakter.
Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Dengan pengertian ini dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa, sehingga berbentuk unik, khas, menarik dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lainnya.
B. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah (www.akhmad_sudrajat.com). Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di sekolah sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
C. Korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (www.wikipedia.org) Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
a. perbuatan melawan hukum; b. penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
c. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
d. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
a. memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
b. penggelapan dalam jabatan;
c. pemerasan dalam jabatan;
d. ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. BAB III
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Guru Sebagai Pembawa Misi Utama Pendidikan Karakter di Sekolah
Sebagai ujung tombak penentu maju atau mundurnya suatu proses pendidikan di sekolah terletak pada guru. Peserta didik akan lebih banyak berinteraksi di dengan guru dan lingkungan sekolah lainnya. Disini guru berperan sebagai aktor untuk menanamkan nilai dan akhlak yang luhur kepada setiap anak didiknya disamping mengembangkan intelektualitas dan aspek kecerdasan lainnya.
Permasalahannya saat ini adalah, jika di persentasekan berapa persen guru yang paham dengan penanaman nilai karakter sejak dini dan mampu mengemas pendidikan karakter tersebut menjadi hal yang menarik. Profesionalitas seorang guru memang harus teruji untuk mempersiapkan generasi kedepan yang tangguh dan bertanggung jawab.
B. Relevansi Antara Pendidikan Karakter dengan Pengentasan Korupsi
Pendidikan merupakan proses, dan setiap proses memiliki tujuan berupa out put yang ingin dicapai. Begitupun dengan pendidikan karakter tentu memiliki tujuan yang tidak lain menciptakan generasi yang mampu mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang dimilikinya tanpa merusak tatanan pranata sosial yang telah dibangun. Manusia yang berkarakter tidak akan mau melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain karena nuraninya lebih tajam dari pada nafsu serakah yang ada dalam dirinya. Jiwanya bersih dan tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang kotor.
Korupsi merupakan tindakan yang keji. Hal ini terungkap dengan kerusakan sistemik yang diakibatkannya. Tatanan sosio-kultural masyarakat runtuh secara perlahan dengan korupsi. Pelaku korupsi adalah orang-orang yang memilki jiwa yang rapuh dan karakter yang harus dipertanyakan keberadaannya. Mentalitas korup telah dibangun sejak awal dan terus subur jika mendapat siraman dan asupan nutrisi yang cukup sehingga lebih berkembang dan menjamur ditengah masyarakat. Tentu saja hal ini tidak akan kita biarkan.
Relevansi antara pendidikan karakter sejak dini untuk membentengi generasi masa depan bebas korupsi sangat jelas. Sebagai individu yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan, seorang anak tentunya harus ditanamkan nilai-nilai positif dalam dirinya. Sikap, prilaku, mental dan karakternya harus dibangun dan dikembangkan dari awal agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan berantai yang telah berjalan selama ini. Dengan karakter yang kuat dan mentalitas yang sarat denagn nilai moral religius akan tumbuh tunas harapan generasi masa depan yang bersih dari praktek-praktek korupsi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Korupsi telah menjadi budaya di Indonesia, dalam praktek pelaksanaannya saling berantai dan mecakup seluruh asek kehidupan yang dilakukan oleh individu-individu yang tidak bertanggung jawab.
2. Kerugian yang ditimbulkan dari korupsi sangat fatal, yang mengakibatkan terjadinya degradasi moral dan keroposnya perekonomian suatu bangsa.
3. Upaya untuk membentengi generasi masa depan dari korupsi adalah dengan cara pendidikan karakter yang di mulai sejak dini, baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan sekolah.
B. Saran
Ada beberapa hal yang ingin penulis sarankan pada kesempatan ini terutama kepada calon pendidik, baik di sekolah maupun di masyarakat:
1. Tingkatkan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang calon guru sebagai bekal untuk berkecimpung dalam pendidikan di masyarakat.
2. Jangan hanya mengutamakan pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi pelajaran tetapi seorang guru harus memprioritaskan penanaman dan pengembangan karakter kepada peserta didik.
3. Hendaknya seorang guru dapat dijadikan panutan dan tauladan bagi peserta didik, masyarakat dimana ia berdomisili sehingga misi pembangunan karakter dapat berjalan dengan optimal.
4. Awas bahaya laten korupsi di birokrasi pendidikan.